Home / Ekonomi / Awas! Ada Aroma 'Devide Et Impera' di Bisnis Sawit
Awas! Ada Aroma 'Devide Et Impera' di Bisnis Sawit
Pekanbaru, katakabar.com - Sudah lebih dua pekan Amerika Serikat memblokir minyak kelapa sawit asal Malaysia.
Alasan pemblokiran itu sebenarnya masih seperti alasan lama; persoalan tenaga kerja. Persoalan semacam ini juga yang dipakai oleh Eropa untuk menjelekkan minyak kelapa sawit asal Indonesia.
Inilah yang membikin ayah tiga anak ini mengulum tawa. "Sudah enggak aneh lagilah. Negara ini sama sama saja dengan Eropa. Apapun pasti dilakukan untuk mendiskreditkan sawit dan upaya-upaya semacam ini sudah mendarah daging, sudah jadi ideologi," kata Sahat Sinaga.
Hanya saja, kebencian yang sudah mendarah daging ini malah enggak sesuai dengan kenyataan yang ada di dua benua itu.
Sebab untuk urusan masak memasak hingga goreng menggoreng saja, Negeri Benua Biru dan Benua Merah ini justru bergantung kepada minyak kelapa sawit.
Misalnya untuk membikin Pop-Corn, Kentucky dan Mc Donal. Bahkan untuk industri coklat serta makanan lain pun, masih mengandalkan minyak sawit.
"Minyak kelapa sawit dalam bentuk Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) enggak mengandung trans-fat. Minyak ini punya karakteristik kayak Hydrogenated Oil," cerita Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ini.
Sementara di Eropa maupun Amerika, minyak Soyabean yang saban hari dipakai, justru mengandung trans-fat yang berbahaya bagi kesehatan. Bisa membikin jantung dan pembulu darah bermasalah.
Soybean tadi kata jebolan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) 1973 ini, dihidrogenasi supaya hydrogenated oilnya bisa padat pada temperatur ruang dan tahan panas tinggi.
"Oleh proses hydrogenasi tadi, minyak ini jadinya mengandung trans-fat," katanya.
Soal kebencian pada minyak kelapa sawit tadi kata lelaki kelahiran Nainggolan Samosir Sumatera Utara (Sumut) ini, itu bukan muncul belakangan, tapi sudah sejak tahun '70-an sialm.
Isu yang mula-mula dimunculkan adalah minyak sawit bisa menyebabkan obesitas dan kolesterol. "Sekitar tahun '78, saya tinggal di Eropa, isu itu masih berseliweran. Tapi waktu itu Eropa tidak percaya dengan tuduhan Amerika itu. Mereka tetap membeli minyak sawit," katanya.
Ketidakpercayaan Eropa itu terbukti setelah hasil penelitian para ahli membuktikan kalau minyak sawit tidak seperti yang digembar-gemborkan.
Oleh hasil penelitian tadi, Amerika dan perusahaan tropikal oil pun bersepakat tidak saling menjelekkan lagi.
Sayang, kesepekatan itu dianggap angin lalu. Pada 2013, Benua Biru memutuskan untuk memakai biodiesel. Tujuannya untuk menurunkan emisi.
Demi menjalankan misi tadi, pemerintah setempat menggelontorkan subsidi kepada perusahaan yang mau membikin fatty acid methyl ester (fame) yang notabene bahan bakunya adalah minyak nabati.
Perusahaan berbondong-bondong membeli Crude Palm Oil (CPO) untuk membikin fame itu. Harganya jauh lebih murah ketimbang minyak Rapeseeed atau minyak Soyabean. Selisihnya antara $US120-$US180 per ton.
"Harga CPO lebih murah. Kalau misalnya harga minyak sawit $US670 per ton, Rapeseed sudah $US790 per ton. Ini kita pakai harga acuan CIF Rotterdam," katanya.
Proyek pemerintah tadi kata Sahat benar-benar membikin industri fame ketiban durian runtuh. Soalnya, sudahlah dapat duit subsidi, perusahaan kebagian CPO yang harganya murah. Oil Tech, J&J Lurgi dan Desmet Ballestra yang mensuplay mesin pembuat Fame itu.
Lama kelamaan Perancis protes. Sebab, gara-gara CPO tadi, minyak Rapeseed tak punya pamor alias tak laku untuk Fame. Maklum, sepanjang musim panas, orang pakai minyak sawit untuk membuat Fame. Pas di musim dingin saja baru Rapeseed tadi dilirik.
Pada 2016, produksi Indonesia meningkat hingga CPO menguasai pangsa pasar dunia, mulailah muncul isu deforestasi.
"Dicari-carilah bahan untuk memperkuat isu itu. Foto orang hutan yang seolah teraniaya disebar. Tunggul-tunggul kayu difoto sedemikian rupa seolah-olah hutan Indonesia sudah luluh lantak!" cerita Sahat.
Padahal, jauh-jauh hari Presiden Soeharto sudah memerintahkan supaya sawit ditanam di bekas-bekas tebangan kayu.
Lalu tahun 2011 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang moratorium pula; enggak boleh lagi membuka lahan baru.
"Tapi bagi mereka, Perpres moratorium ini cuma lips service. Waktu itu ekspor CPO dan turunannya diganjal meski kemudian setelah kita upayakan melakukan gugatan di WTO, akhirnya kita menang juga," ujar Sahat.
Isu deforestasi mulai meredup, isu baru dimunculkan demi menahan laju masuknya ekspor biodiesel ke Eropa.
Biodiesel Indonesia dibilang pakai subsidi pemerintah. Jadi supaya bisnisnya fair, bea masuk biodiesel asal Indonesia terpaksa dibikin tinggi.
Celakanya, tudingan itu dibumbui pula dengan bahasa; petani kelapa sawit mensubsidi pembuatan biodiesel.
"Alasan tadi sangat tidak masuk akal sebenarnya. Tapi itu tadilah, ragam isu pasti akan selalu dibikin supaya dapat harga murah. Sebab seperti yang saya bilang tadi, suka enggak suka, mereka sangat butuh sebenarnya dengan minyak sawit ini," katanya.
Dan ini kata Sahat sudah terbukti. Segimana pun orang di dua benua tadi teriak-teriak, ekspor CPO justru melejit lantaran kebutuhan di pasar global terus meningkat.
Terlebih setelah covid-19 merajalela. Orang di dua benua tadi kesulitan memanen Soyabean, Bunga Matahari dan Zaitun.
"Di Indonesia Covid enggak berdampak kepada petani kelapa sawit lantaran aktifitas mereka sudah lebih dari aturan baku social distancing, panennya berjauh-jauhan," Sahat tertawa.
Sahat kemudian merinci, ekspor CPO kwartal I mencapai 7,6 juta ton, kwartal II naik menjadi 7,8 juta ton, kwartal III melejit menjadi 9,4 juta.
"Di kwartal IV kita memprediksi akan naik menjadi 9,5 juta ton. Inilah kontroversi sawit, dibenci tapi dibutuhkan," ujarnya.
Dari semua kenyataan yang ada itu kata Sahat, intinya soal sawit ini adalah persaingan usaha yang membikin 'ngeri' produsen minyak non sawit.
"Semua lini di masyarakat kita disusupi demi menjelekkan sawit ini, termasuk sejumlah media. Buktinya, ada berita yang bilang Fame dan biodiesel lebih buruk dari fosil. Tapi enggak ada alasan yang jelas kenapa sampai dibilang kayak gitu," ujar Sahat.
Dan sayangnya, orang Indonesia sudah banyak yang terpengaruh oleh isu-su yang ditabur itu; hampir di segala lini, termasuk oknum wakil rakyat.
Non-Governmental Organization (NGO) disetting supaya bisa mempengaruhi KLHK, dan sejumlah kementerian.
Alhasil, tidak ada kementerian yang fokus untuk bertanggungjawab tentang serangan terhadap kelapa sawit ini.
Gimana mau fokus, wong disinyalir, ada 17 kementerian yang mengurusi sawit. Lantaran terlalu banyak, yang ada justru ribut. "Kenapa bisa seperti ini, ya inilah pintarnya penyusup itu. Mereka masih melakukan pola devide et impera. Adu domba," tegas Sahat.
Dan oleh semua isu tadi, mestinya Idonesia tidak perlu gugup, "Usahakan perbaiki tanaman kita supaya sustainable, garap lahan dengan baik dan produktif," pinta Sahat.
Lantas, hilangkan image subsidi. Caranya, dana selisih antara fame dan fosil, biar BPDPKS berurusan dengan Pertamina. Jadi, Pertamina membeli Fame ke perusahaan secara B to B saja," ujarnya.
Selanjutnya, pemerintah betul-betul tidak ambigu. Kalau memang sawit adalah tanaman yang bisa memperkerjakan orang banyak dan memberikan devisa tinggi, konsistenlah itu sebagai politikal will bahwa ekonomi Indonesia ditopang oleh sawit dan batubara.
"Dengan begitu, apapun yang terjadi, tentu musti diperjuangkan. Lalu lahan-lahan yang dikatakan kawasan hutan, lepaskan itu. Biar enggak dibilang deforestasi meski sebenarnya sebelum pemerintahan ini ada, masyarakat sudah ada di kawasan yang dibilang hutan tadi. Di Sumut misalnya, ada lahan yang sudah bertanaman sawit dan ber HGU sejak tahun 1930, tapi diklaim kawasan hutan," katanya.
Lantas yang lebih penting lagi kata Sahat, pemerintah harus menetapkan siapa sebenarnya komando di industri sawit ini, biar yang lain tinggal ikut saja.
"Kalau kapal ini mau bergerak kencang, jangan banyak jangkar," pinta Sahat. Terakhir, "Kembangkan pemakaian biohidrokarbon," Sahat mengajak.
Komentar Via Facebook :