Home / Mitos dan Fakta / Evolusi Modern Industri Sawit Nusantara Bermula Empat Benih Zaman Kolonial
Evolusi Modern Industri Sawit Nusantara Bermula Empat Benih Zaman Kolonial

Foto Net/katakabar.com.
katakabar.com - Industri sawit Indonesia dulu dikenal Nusantara memiliki sejarah panjang dari zaman kolonial.
Bermula dari empat benih kelapa sawit yang dibawa Dr. D. T. Pryce, yakni terdiri dua benih Bourbond-Mairitius, dan dua benih dari Amsterdam (Jenis Dura). Keempat benih ini awalnya untuk dijadikan sebagai tanaman koleksi Kebun Raya Bogor pada tahun 1848 (Hunger, 1942; Rutgers et Al, 1922).
Biji kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut disebarkan untuk ditanam menjadi tanaman hias (ornamental) sekaligus "uji lokasi" di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Pulau Sumatera khususnya di perkebunan tembakau Deli.
Uji coba budidaya di distrik Deli oleh Deli Maatschappij, J. Kroll, melaporkan hasilnya cukup menggembirakan. Di mana produktifitas tanaman kelapa sawit lebih baik dibandingkan perkebunan di Afrika Barat sebagai habitatnya.
Usaha perkebunan kelapa sawit secara komersial kali pertama pun dimulai tahun 1911 oleh perusahaan Belgia di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh).
Di tahun tersebut, yakni tahun 1911 diyakini sebagai tonggak sejarah awal perkebunan kelapa sawit komersial di Indonesia.
Selain perusahaan Belgia di tahun yang sama, perusahaan Jerman
membuka perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Langkah investor Belgia dan Jerman diikuti investor Belanda dan Inggris.
Perlahan dan pasti jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit terus berkembang dari 19 di tahun 1916 meningkat menjadi 34 perusahaan pada tahun 1920.
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama DJ Indonesia dibangun di Sungai Lipun tahun 1918, dan di Tanah Itam Ulu 1922.
Selama masa kolonial hingga Orde Lama, evolusi perkebunan kelapa sawit sangat dipengaruhi dinamika politik di Indonesia.
Proses perubahan kekuasaan dari Pemerintah Kolonial kepada Pemerintah Republik Indonesia disertai proses nasionalisasi milik nasional dan swasta asing menjadi cikal bakal Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perkebunan di Indonesia.
Untuk mengakselerasi evolusi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, pemerintah memberi dukungan kebijakan untuk penguatan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yaknj PBSN I (1977-1978), PBSN II (1981-1986) dan PBSN III (1986-1990).
Isi kebijakan tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan fasilitas kredit murah untuk merehabilitasi kebun eksisting maupun pembukaan perkebunan kelapa sawit baru.
Pada tahun 1977, Pemerintah Indonesia berkolaborasi dengan World Bank, Asian Development Bank (ADB), Germany Government Agency (KfW) dan Internasional Fund for Agriculture Development (IFAD) untuk membangun proyek NES (Nucleus Estate and Smallholders) atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat).
PIR/NES merupakan model perkebunan kelapa sawit hasil sinergi antara petani dengan korporasi. Keberhasilan uji coba PIR/NES (I-IV) tersebut terus dikembangkan menjadi model dan pola perkebunan kelapa sawit Indonesia (Badrun, 2010, Sipayung, 2011; Kasryno, 2015; PASPI, 2022).
Pertama, Pola PIR Khusus dan PIT Lokal dimulai tahun 1980. Program ini lanjutan dari proyek NES/PIR yang mendapat dukungan pembiayaan dari World Bank. Pola PIR khusus dan PIR lokal dikaitkan dengan program pengembangan ekonomi daerah/lokal.
Kedua, pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) dikembangkan tahun 1986 dikaitkan dengan program transmigrasi. PIR-Trans mengembangkan pola kerja sama antara perusahaan perkebunan negara dan swasta sebagai inti dengan masyarakat transmigran sebagai plasma.
Ketiga, Pola PIR Koperasi Primer Para Anggota (PIR-KPPA) yang dimulai tahun 1996. Pola ini dikembangkan untuk mengintegrasikan pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan koperasi. Perusahaan perkebunan kelapa sawit negara dan swasta sebagai inti, serta petani kelapa sawit yang tergabung dalam koperasi sebagai plasma.
Keempat, Pola kemitraan yang dikembangkan tahun 1999. Melalui pola ini, perusahaan perkebunan kelapa sawit negara dan swasta harus mengalokasikan minimum 20 persen dari total luas area perkebunannya untuk pengembangan kebun masyarakat. Model ini dapat berupa pengelolaan kebun dalam satu siklus dalam satu manajemen oleh perusahaan perkebunan atau dapat juga berupa BOT (build, operation and transfer) yang dikonversikan kepada petani.
Kelima, Kebijakan Kemitraan Revitalisasi Perkebunan (Revit-Bun) yang dikembangkan tahun 2006. Pada kebijakan tersebut pemerintah menyediakan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) yang dikaitkan dengan energi nabati dan revitalisasi perkebunan. (sumber: Buku Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global Edisi Keempat, PASPI 2023. Bersambung..,
Komentar Via Facebook :